Besar dengan sumber daya yang begitu kaya, Indonesia memang mengandung potensi yang besar untuk tumbuh besar dan menyejajarkan diri dengan negara-negara maju dunia. Namun beragam masalah yang terus menghantui di setiap sudut pergerakan membuat hal ini tampil begitu mustahil. Tidak hanya itu saja, beberapa aspek ekonomi yang sudah membuktikan diri tampil memesona di kancah global ternyata juga tidak mendapatkan perhatian yang memadai, termasuk industri kreatif di dalamnya. Menjadi ironi memang jika negara komunis seperti Vietnam ternyata mampu membuka peluang game dengan kualitas memadai seperti “7554”, sementara Indonesia tergeser ke samping. Untungnya, ini bukan berarti sebuah akhir. Sebuah game karya anak bangsa yang tampil memesona akhirnya muncul ke permukaan. Benar sekali, kita tengah membicarakan “DreadOut”.

Sampai di telinga kami lewat beragam informasi yang giat terbagi lewat situs jejaring sosial – Facebook, kami akhirnya memutuskan untuk menjajal game yang dikembangkan oleh studio lokal – Digital Happiness ini. Didistribusikan oleh PT. Digital Semantika Indonesia, game horror dengan cita rasa Indonesia yang kental ini memang baru dirilis dalam versi demo dan tengah menjalin usaha untuk menembus distribusi Steam lewat program GreenLight. Sejujurnya ada rasa skeptis ketika mendengar sebuah game yang dikembangkan oleh developer Indonesia, dan tentu saja ketakutan bahwa kita akan menemukan sebuah game yang “meh..”. Berangkat dengan kekhawatiran ini, kami menjajal DreadOut versi demo ini. Namun apa yang ditawarkan oleh game yang satu ini ternyata justru memutarbalikkan semua kekhawatiran kami. DreadOut menampilkan sebuah kualitas yang mengejutkan.

Menunjukkan Kepantasan untuk Didistribusikan Secara Komersial

Berperan sebagai seorang siswi SMU – Linda, Anda akan berhadapan dengan ancaman horror sejak awal permainan.
Hadir dengan dunia yang dibangun dengan model tiga dimensi, DreadOut menawarkan kualitas visual yang masih pantas untuk memastikan mata Anda nyaman selama menjajalnya. Walaupun belum dapat disejajarkan dengan sebagian besar game racikan developer raksasa yang  sudah lama malang-melintang di industri game, namun penggunaan Unity Engine memang dirasakan sebagai keputusan yang tepat. Berperan sebagai seorang anak SMU bernama Linda yang harus berhadapan dengan hal-hal berbau mistis yang kentara, Anda akan langsung dapat memerhatikan seberapa seriusnya Digital Happiness membangun game ini, setidaknya memastikan ia hadir dalam kualitas yang pantas untuk didistribusikan secara komersial.
Sempat skeptis melihat statusnya sebagai sebuah game yang dibangun oleh developer Indonesia, DreadOut justru terlihat sangat menjanjikan. Ia hadir dengan kualitas yang membuatnya pantas untuk didistribusikan secara komersial.
Setting yang sangat “Indonesia”..
Kita tidak hanya sekedar membicarakan kualitas visualisasi dan kemampuan developer lokal ini untuk membangun desain karakter yang terhitung apik, tetapi juga mampu menyisipkan berbagai aspek yang membuatnya masuk ke dalam jajaran game horror yang pantas untuk diperhitungkan. Setting yang “sangat” Indonesia dengan berbagai elemen yang dapat dengan mudah Anda kenali pantas untuk diacungi jempol. Namun kemampuan Digital Happiness untuk meramu beberapa elemen kecil-lah yang mampu mengejutkan kami. Salah satunya? Bertemu dengan seekor kucing kecil dan menemukan bahwa ia akan mengikuti Anda terus selama permainan sembari terus menatap. Ini tentu menawarkan sensasi horror tersendiri. Fitur untuk memilih reaksi ketika tengah bercakap juga menjadi fitur yang membuat kami jatuh hati. Sayangnya, interaktivitas terhadap lingkungan masih sangat terbatas.
Kucing kecil inilah yang membuat kami takjub pada DreadOut. Fakta bahwa elemen kecil seperti ini juga masuk ke dalam detail yang diperhatikan oleh sang developer membuktikan keseriusan yang ada.
Pilihan percakapan? Nice!!
Voice acts yang juga terasa “hidup” juga menjadi salah satu nilai positif yang pantas untuk dicatat.
Keseriusan dan kepantasan ini juga direpresentasikan oleh tata bahasa dan voice acts karakternya yang terdengar hidup, setidaknya tidak sekaku sebagian besar sinetron kelas dua yang bertebaran di layar kaca televisi Anda saat ini. Bukan sekedar game yang dibangun setengah hati, Digital Happiness berhasil menawarkan sebuah alasan mengapa DreadOut pantas untuk dilirik oleh para penggemar game horror di seluruh dunia, bahkan secara komersial.

Atmosfer yang Tepat

Gelap dan sunyi memang menjadi formula yang paling tepat untuk membuat bulu kuduk gamer merinding.
Jalan sempit yang gelap, sunyi, penuh dengan pepohonan, dan sepetak kuburan yang menyeramkan, DreadOut memang sudah terhitung berhasil menetapkan sebuah dasar untuk menawarkan sebuah pengalaman horror secara maksimal. Anda yang sempat memainkan Slenderman atau Amnesia di masa lalu tentu saja sudah cukup familiar seberapa efektifnya formula ini jika diterapkan. Tidak hanya untuk membuat Anda terus merasa waspada, kombinasi atmosfer seperti ini akan membuat Anda rapuh untuk merasa terkejut dengan hal apapun yang muncul secara tiba-tiba. Digital Happiness tampaknya mengerti akan hal itu.
Hell no!
Penempatan dan keterkejutan menjadi senjata utama DreadOut untuk mengirimkan ketakutan tersendiri kepada Anda.
Berhadapan dengan hantu khas Indonesia yang kisahnya tumbuh bersama dengan sebagian besar dari kita, DreadOut berhasil memadukan setting yang tepat dengan kombinasi elemen keterkejutan  yang cukup untuk membuat jantung Anda berdegup keras secara konsisten. Anda akan mendengar beragam suara di sepanjang demo, dari sekedar botol jatuh yang tiba-tiba saja muncul tanpa Anda antisipasi sebelumnya, hingga kikik sang musuh utama yang akan terus menghantui setiap langkah Anda. Menyeramkan dan menegangkan, setiap kejutan yang ditawarkan akan cukup untuk membuat hati Anda melemah selama beberapa detik, dari sekedar bertemu dengan sang teman lama yang berdiri diam di depan ruangan, hingga sang hantu yang akan muncul secara tiba-tiba di depan Anda. Teriakan, pekikan, dan sekedar suara yang muncul jauh di balik kesunyian akan membuat adrenalin Anda mengalir deras.
Well, setidaknya atmosfer ini cukup untuk membuat kami yang penakut untuk mengangkat bendera putih dan akhirnya lebih memilih untuk meneruskan game ini dengan headset yang tersimpan rapi di atas meja. Apalagi jika Anda memainkannya dengan headset dalam kualitas audio yang baik, dan tentu saja cahaya ruangan yang lebih redup.